Monday, February 23, 2009

Produk – Produk Syariah

Fenomena penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan semakin berkembang pesat, tidak hanya di perbankan tetapi juga lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Di sektor lembaga keuangan bank dikenal dengan perbankan syariah, sedangkan pada lembaga keuangan bukan bank dengan mengacu pada Penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terdiri dari lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.

Adapun mengenai Baitul Maal wat Tamwil (BMT) tercangkup dalam istilah lembaga keuangan mikro syariah. Keberadaaan BMT ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam pengembagan sektor ekonomi riil, terlebih bagi kegiatan usaha yang belum memenuhi segala persyaratan untuk mendapatkan pembiayaan dari lembaga perbankan syariah.

BMT merupakan bentuk lembaga keuangan dan bisnis yang serupa dengan koperasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Baitul tamwil merupakan cikal bakal lahirnya bank syariah pada tahun 1992. Segmen masyarakat yang biasanya dilayani BMT adalah masyarakat kecil yang kesulitan berhubungan dengan bank. Perkembangan BMT semakin marak setelah mendapat dukungan dari Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK) yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apa peranan BMT dalam rangka pemberdayaan sektor ekonomi riil; Bagaimana optimalisasi peran itu dalam realitas kehidupan masyarakat; Apa yang menjadi kendala dalam upaya dimaksud; Dan alternatif solusi yang dapat ditempuh untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir adanya kendala dimaksud, akan menjadi bahasan dalam artikel ini.

Peranan BMT dalam Rangka Pemberdayaan Sektor Ekonomi Riil
Krisis moneter yang melanda bangsa Indonesia pada 1997 yang lalu menyebabkan sektor riil hampir lumpuh dengan banyaknya pengusaha yang ‘gulung tikar’ alias mengalami kebangkrutan. Adanya mendorong pemerintah untuk mengeluarkan regulasi di bidang perbankan, karena adanya krisis moneter juga disebabkan karena adanya krisis perbankan. Adapun regulasi dimaksud adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini secara eksplisit mengintrodusir sistem perbankan syariah. Dalam realitasnya, operasional bank syariah belum dapat secara optimal menjangkau sektor ekonomi riil di tingkat akar rumput (grass root). Hal demikian karena ternyata bank syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan dalam menjalankan fungsinya menyalurkan dana kepada masyarakat berupa memberikan pembiayaan masih mensyaratkan adanya jaminan yang itu tidak mudah bisa dipenuhi oleh nasabah, khususnya nasabah kecil. Di sisi yang lain fakta menunjukkan bahwa operasional bank syariah juga terbatas di kota-kota, sedangkan pelaku sektor ekonomi riil juga sebagian berada di desa-desa. Dengan demikian layanan yang diberikan oleh bank syariah belum dapat menjangkau sektor ekonomi riil secara optimal.

Kondisi tersebut menjadi latar belakang munculnya lembaga-lembaga keuangan mikro yang sudah menjangkau hingga ke pedesaan-pedesaan atau yang dikenal dengan sebutan BMT. BMT dalam operasional usahanya pada dasarnya hampir mirip dengan perbankan yaitu melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan, serta memberikan jasa-jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Secara umum produk BMT dalam rangka melaksanakan fungsinya tersebut dapat diklasifikasikan menjadi empat hal yaitu:


a. Produk penghimpunan dana (funding)
b. Produk penyaluran dana (lending)
c. Produk jasa
d. Produk tabarru’: ZISWAH (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, dan Hibah)

Skema 1. Produk BMT

PRODUK BMT
Produk Penghimpunan Dana (Funding)
Produk Penyaluran Dana (Lending)
Produk Jasa, dan
Produk ZISWAH

Dengan demikian sebagaimana namanya BMT menjalankan dua misi, yaitu misi sosial (tabarru’) dan misi untuk mendapatkan keuntungan (tamwil). Keduanya hendaknya mampu dilaksanakan oleh BMT secara proporsional.

Penjelasan mengenai produk BMT dengan mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, produk penghimpunan dana yang ada di BMT pada umumnya berupa simpanan atau tabungan yang didasarkan pada akad wadiah dan akan mudharabah. Untuk itu dalam BMT dikenal adanya dua jenis simpanan yaitu simpanan wadiah dan simpanan mudharabah.
Secara fikih akad wadiah ditinjau dari boleh tidaknya penerima titipan untuk memanfaatkan barang titipan tersebut dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1) Wadiah al-Amanah,
yaitu akad wadiah yang mana pihak yang menerima titipan tidak bolehmemanfaatkan barang yang dititipkan.

2) Wadiah ad Dhamanah,
yaitu akad wadiah yang mana pihak yang menerima titipan diperbolehkan untuk memanfaatkan uang/barang yang dititipkan, dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu pemilik barang membutuhkan uang/barang yang bersangkutan masih utuh.

BMT akan menggunakan akad Wadiah ad Dhamanah dalam produk simpanannya, sehingga ia dapat menggunakan dana yang disimpan oleh nasabah untuk kegiatan produktif. Hal demikian juga mendatangkan keuntungan bagi nasabah, yakni bahwa nasabah dimungkinkan mendapatkan bonus yang besarnya tergantung pada kebijaan BMT dan tidak boleh diperjanjikan di muka. Melalui simpanan wadiah nasabah BMT terhindar dari risiko kerugian, akan tetapi potensi penghasilan atau keuntungan yang akan diperoleh juga kecil karena sangat tergantung pada kebijakan dari BMT yang bersangkutan.

Dalam hal nasabah BMT menghendaki uang yang di simpan juga memberikan tambahan pendapatan atau memang ditujukan sebagai sarana investasi maka BMT biasanya juga menyediakan produk simpanan yang di dasarkan pada akad mudharabah. Melalui simpanan mudharabah nasabah berpeluang mendapatkan penghasilan yang besarnya sesuai dengan nisbah bagi hasil yang telah diperjanjikan di awal akad. Namun demikian nasabah yang memakai skema simpanan mudharabah juga menanggung risiko kerugian atas uang yang ia simpan.
Kedua, produk penghimpunan dana yang di sediakan oleh BMT bisa mendasarkan pada akad-akad tradisional Islam, yakni akad jual beli, akad sewa-menyewa, akad bagi hasil, dan akad pinjam meminjam.

Jual Beli

Jual beli intinya adalah akad antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli, dimana obyeknya adalah barang dan harga. Adapun penerapan dari akad jual beli ini dalam transaksi BMT tampak dalam produk pembiayaan murabahah, salam, dan istishna. Dengan demikian akad jual beli hanya dapat diterapkan pada produk perbankan berupa penyaluran dana. Adapun pengertian dari masing-masing jenis pembiayaan dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Murabahah,
adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.

2) Salam,
adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.

3) Istishna,
adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Implementasi akad murabahah, salam, dan istishna, khususnya dalam praktik BMT secara teknis dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam, dan Fatwa DSN MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna.

Bagi Hasil

Penerapan akad bagi hasil dalam transaksi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) inilah yang lebih dikenal di masyarakat karena memang fungsinya sebagai pengganti bunga. Akad ini unik, karena dalam praktik BMT bisa diterapkan dalam dua sisi sekaligus, yaitu sisi penghimpunan dana (funding) dan sisi penyaluran dana (lending).

Implementasi akad bagi hasil dalam produk BMT di bidang penghimpunan dana sebagaimana disebut di atas dalam bentuk simpanan, sedangkan implementasinya dalam produk penyaluran dana adalah pada produk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah. Secara teknis mengenai penerapan akad mudharabah dalam bentuk pembiayaan dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) dan untuk penerapan akad musyarakah dalam produk pembiayaan dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.

Sewa-Menyewa

Sewa-menyewa merupakan perjanjian yang obyeknya adalah manfaat atas suatu barang atau pelayanan, sehingga bagi pihak yang menerima manfaat berkewajiban untuk membayar uang sewa/upah (ujrah). Dalam praktik BMT akad sewa-menyewa ini diterapkan dalam produk penyaluran dana berupa pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah muntahia bit tamlik (IMBT), yang penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Ijarah
adalah transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Secara teknis mengenai penerapan akad ijarah di BMT dapat mengacu pada Fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.

2) Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT),
adalah transaksi sewa-menyewa yang memberikan hak opsi di akhir masa sewa bagi pihak penyewa untuk memiliki barang yang menjadi obyek sewa melaluai mekanisme hibah ataupun melalui mekanisme beli. Secara teknis mengenai implementasi IMBT ini dapat dibaca dalam ketentuan Fatwa DSN MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Mutahiyah bi Al-Tamlik.

Pinjam-meminjam yang Bersifat Sosial

Dalam sistem konvensional produk penyaluran dana berupa kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam dengan ketentuan bahwa nasabah debitur wajib membayar bunga berdasarkan presentase tertentu terhadap pokok pinjaman. Ini merupakan riba, yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Dalam Islam akad pinjam-meminjam juga disediakan tetapi hanya pada keadaan emergency, artinya bahwa pinjaman akan diberikan hanya kepada nasabah yang benar-benar membutuhkan uang. Pihak BMT selaku pemberi pinjaman dilarang meminta imbalan betapapun kecilnya, karena itu termasuk riba.

Dalam operasional BMT transaksi pinjam-meminjam ini dikenal dengan nama pembiayaan qardh, yaitu pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Ada juga qardh al-hasan (pinjaman kebajikan), yang pada dasarnya dalam hal nasabah tidak mampu mengembalikan, maka seyogyanya pihak pemberi pinjaman bisa mengikhlaskannya. Secara teknis mengenai pembiayaan qardh ini mengacu pada Fatwa DSN MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang al Qardh.

Ketiga, produk jasa merupakan produk yang saat ini banyak dikembangkan oleh LKS termasuk BMT, karena melalui produk ini bank akan mendapatkan pendapatan berupa fee. Dengan semakin banyaknya jenis produk jasa yang diberikan oleh BMT kepada nasabahnya, maka semakin besar pula pendapatan BMT yang bersangkutan dari sektor ini. Adapun mengenai produk jasa misalnya di dasarkan pada akad wakalah. BMT berdasarkan akad wakalah ini dapat memberikan jasa, misalnya dalam perpanjangan STNK, SIM, KTP, dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah berperan sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat yang mempunyai dana lebih (surplus unit) dan menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan dana (deficit unit). Dalam rangka optimalisasi peranan BMT untuk pengembangan sektor ekonomi riil, maka fungsi BMT di bidang penyaluran dana khususnya dalam bentuk pembiayaan produktif perlu lebih ditingkatkan.

Optimalisasi Peranan BMT dalam Realitas Kehidupan Masyarakat

Peranan BMT di bidang penyaluran dana kepada masyarakat dunia usaha yang bergerak di sektor ekonomi riil perlu dioptimalkan. Adapun salah satu caranya selain peningkatan kapabilitas dan profesionalitas para pengelolanya, juga diperlukan pemahaman terhadap kondisi setempat dimana sebuah BMT berada. BMT yang berada di sekitar masyarakat petani, tentu berbeda dengan BMT yang ada di sekitar masyarakat pedagang.

Optimalisasi peran BMT dalam pengembangan sektor riil secara prinsip dapat dilakukan dengan mengenal motivasi dari nasabah atau calon nasabah ketika mereka mengajukan permohonan ke BMT. Adapun beberapa motivasi nasabah atau calon nasabah berikut jenis pembiayaan yang sesuai dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1) Nasabah atau calon nasabah yang menginginkan barang modal atau barang konsumtif dengan maksud untuk dimiliki, maka dengan melihat karakteristik pembiayaan sebagaimana tersebut di atas dan setelah melalui studi kelayakan (feasibility study), ia dapat diberikan pembiayaan murabahah.

2) Nasabah atau calon nasabah yang menginginkan modal kerja atau tambahan modal kerja, maka dengan melihat karakteristik pembiayaan sebagaimana tersebut di atas dan setelah melalui studi kelayakan (feasibility study), ia dapat diberikan pembiayaan mudharabah/pembiayaan musyarakah.

3) Nasabah atau calon nasabah yang menginginkan manfaat atas suatu barang, maka dengan melihat karakteristik pembiayaan sebagaimana tersebut di atas dan setelah melalui studi kelayakan (feasibility study), ia dapat diberikan pembiayaan ijarah. Dan apabila nasabah atau calon nasabah menghendaki kepemilikan atas barang di akhir masa sewa maka tepat jika ia diberi pembiayaan IMBT.

4) Nasabah atau calon nasabah yang membutuhkan uang tunai karena adanya kebutuhan yang mendesak (emergency), maka dengan melihat karakteristik pembiayaan sebagaimana tersebut di atas dan setelah melalui studi kelayakan (feasibility study) ia dapat diberi produk berupa pembiayaan qardh/qardh al hasan.

Melalui peningkatan kapabilitas dan profesionalitas para pengelola BMT, serta kepekaan melakukan analisis pembiayaan sehingga dapat memberikan pembiayaan yang tepat bagi nasabah atau calon nasabah maka optimalisasi peranan BMT di sektor ekonomi riil dapat dilaksanakan dengan semestinya. BMT yang berperan secara optimal dapat memberikan andil dalam pembangunan nasional, sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud secara adil dan merata.

Kendala dalam Pengelolaan BMT dalam Rangka Pemberdayaan Sektor Riil

Banyak kendala-kendala yang menjadi hambatan pengelolaan BMT dalam pemberdayaan sektor riil. Kendala-kendala tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kendala internal dan kendala eksternal.

Kendala internal adalah kendala yang disebabkan karena faktor dari dalam BMT itu sendiri. Hal ini nampak pada adanya fakta bahwa banyak dijumpai pengurus atau pengelola BMT belum memahami tentang prinsip-prinsip syariah dan juga prinsip pengelolaan usaha yang baik dan benar. Atau dengan kata lain belum terpenuhinya sumber daya insani yang mumpuni di bidang ekonomi syariah, sehingga dalam praktiknya BMT seringkali menjadi sama dengan lembaga keuangan konvensional yang jauh dari nilai-nilai Islami.

Adapun kendala eksternal adalah kendala yang disebabkan oleh faktor dari luar BMT, seperti masih adanya budaya masyarakat yang belum sepenuhnya menerima eksistensi lembaga keuangan syariah karena di anggap njlimet dan tidak terprediksi. Kendala pada aspek hukum juga masih dijumpai, yakni terkait dengan status hukum BMT yang pada umumnya adalah koperasi. Menurut ketentuan hukum koperasi memerlukan aspek legal lain jika ingin melakukan kegiatan penghimpunan dana. Fungsi BMT yang hampir mirip-mirip dengan bank, yakni sebagai lembaga intermediasi keuangan belum mendapatkan pijakan hukumnya yang kokoh.

Adanya kendala dimaksud perlu segera dicarikan jalan keluarnya, agar BMT sebagai lembaga dengan target market sektor riil berupa usaha-usaha kecil dapat menjalankan perannya dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Alternatif Solusi untuk Mengatasi/Mengurangi Kendala-Kendala Menuju Kinerja BMT yang Optimum

Kendala berupa masih rendahnya sumber daya insani yang memahami pengelolaan lembaga keuangan berdasarkan prinsip syariah, khususnya bagi BMT yang baru berdiri dapat diatasi dengan proses magang pada BMT lain yang sudah memiliki kredibilitas dalam operasionalnya. Di samping itu juga dapat melalui partisipasi dalam program pelatihan ekonomi syariah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga terkait.

Dalam mengatasi kendala-kendala yang terjadi, sektor hukum juga mempunyai peran penting di dalamnya. Adapun untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan pembiayaan kepada masyarakat, BMT dapat menerapkan prinsip-prinsip berikut:

1) Prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam melaksanakan kegiatannya, terutama dalam pemberian pembiayaan kepada masyarakat.

2) Prinsip mengenal nasabah (know your customer principle), hal ini lebih menekankan aspek karakter nasabah.

3) Secara internal perlu menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance, yang meliputi transparancy, accountability, responsibility, independency, and fairness.

Kemudian dalam rangka pemasaran produk-produk BMT kepada masyarakat, ada beberapa strategi yang dapat ditempuh oleh pengelola BMT yang bersangkutan antara lain yaitu:

1) Meluruskan niat, bahwa niat pengelola yang utama adalah berupa niat untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan diniatkan ibadah, maka seorang pengelola akan mendapatkan dua macam keutamaan yakni berupa pahala dan keberhasilan dalam pengelolaan BMT.

2) Memperhatikan ulama. Ulama adalah tokoh yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sehingga pengurus BMT dapat menjalin kerjasama saling menguntungkan dengannya untuk kepentingan sosialisasi mengenai lembaga keuangan yang dikelola berdasarkan prinsip syariah dimaksud.

3) Memperluas jaringan kerjasama. BMT dapat menjalin kerjasama dengan BMT lain, Bank Syariah, Pemerintah, dan siapa saja yang memiliki minat dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam dalam kehidupan bermasyarakat.

4) Metode jemput bola. Metode ini perlu ditempuh untuk mengakselerasi perkembangan BMT, misalnya dengan pembentukan unit khusus yang menawarkan produk BMT dari rumah ke rumah.

Strategi pemasaran tersebut sama-sama penting dan saling menguatkan dalam rangka optimalisasi peran BMT, sehingga dibuat skema sebagai berikut:

Skema 2. Strategi Pemasaran
Memperhatikan ulama
Memperluas jaringan kerjasama
Metode jemput bola
Meluruskan niat
Market Strategy

Setelah keempat pendekatan di atas dilalui, selanjutnya perlu dikembangkan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Pengelola BMT harus mampu bertindak jujur, amanah, serta profesional di bidangnya, yang diwujudkan dengan mengedepankan transparansi manajemen, keikhlasan menerima kritik dan saran, bijaksana dalam mengambil keputusan penting, memberikan pelayanan terbaik.

2) Memilih produk-produk yang tepat: sederhana, tidak terlalu berisiko, dan memiliki nilai jual yang tinggi.

Penutup

Demikian sekilas pembahasan mengenai optimalisasi peranan BMT sebagai penggerak sektor ekonomi riil. Perkembangan sektor ekonomi riil akan dapat berlangsung dengan cepat ketika didukung oleh tersedianya sumber dana yang memadahi dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan. BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah sudah saatnya berbenah diri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan dana bagi pengembangan kegiatan usaha. Adanya merupakan salah satu kontribusi bagi suksesnya proses pembangunan, sehingga pelan tapi pasti dapat mengikis atau mengurangi jumlah penduduk miskin di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Muhamad, 2006, Perkembangan Bisnis dan Keuangan Syariah di Indonesia dalam Bank Syariah, Analisis Kekuatan, Kelemahan, dan Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia.
Rizky, Awalil, 2007, BMT: Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil, Yogyakarta: UCY Press.
SM, Makhalul Ilmi, 2002, Teori dan Praktik Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Yogyakarta: UII Press.

Pesatnya pembangunan beberapa tahun terakhir - terlihat dari banyaknya proyek berskala sangat besar yang dibangun oleh pemerintah, swasta, atau gabungan keduanya-merupakan peluang bisnis dan sekaligus tantangan bagi kalangan dunia usaha, khususnya usaha jasa konstruksi.

Peluang dan tantangan itu jelas menuntut banyak hal, satu di antara yang vital adalah sumber daya manusia yang memadai, baik dari segi kepribadian, pengetahuan, ketrampilan, maupun kompetensi. Karena tanpa itu, proyek pembangunan rasanya sulit berjalan mulus dan memberikan hasil yang memuaskan.

Setelah lebih dari 20 tahun bergelut dalam dunia jasa kontruksi. Penulis melihat bahwa sumber daya manusia kita lemah dalam hal pengelolaan proyek, baik dalam pengetahuan, keterampilan, maupun kompetensinya.

Akan tetapi kalau kita melihat realita sekarang ini meski banyak lapangan kerja yang tersedia namun banyak warga atau masyarakat yang masih belum memperoleh kesejahteraan dan sepatutnya ini tidak perlu terjadi mengingat rekontruksi dan rehabilitasi pasca tsunami di aceh memberikan keberkahan financial yang begitu besar bagi para pekerja dan pelaku rekonstruksi, dan di suatu sisi mereka kebanyakan dari kalangan islam. Logika sederhana menyimpulkan bahwa makin besar pendapatan kaum muslimin di aceh maka semakin besar pula pendapatan zakat yang di salurkan kepada masyarakat yang berhak menerima zakat.

Ditulis Oleh :
Zuheimi Ramli
Comments
2 Comments
diberdayakan oleh Media Blogger

2 comments: