Dunia
masih mengenangnya. Airmata masih ada yang mengalir ketika mengingat
kebesarannya. Ada
rasa malu kalau membandingkan dengan keadaan kita sekarang. Ada rasa haru kalau melihat kembali
perjuangan-perjuangannya; bagaimana ia dengan penuh kasih-sayang mengusap darah
suaminya seusai perang dan merawatnya penuh perhatian; bagaimana ia mengambil
air sendiri dengan berjalan jauh sampai membekas di dadanya; dan bagaimana ia
menginap di rumah Rasulullah sementara ‘Ali menggantikan tempat tidur Nabi saat
orang kafir Quraisy mengepung. Malam itu, Rasulullah meninggalkan Makkah dan
bersembunyi di gua Tsaur. Sementara orang kafir mengancam nyawanya.
Fathimah
sangat besar perjuangannya. Dia adalah putri dari seorang yang suci. Dia
sendiri suci. Dari rahimnya yang suci, kita pernah mendengar nama Al-Hasan dan
Al-Husain yang ikut bersama kakeknya ketika akan melakukan mubahalah (perang
doa) dengan pendeta Bani Najran. Ia juga melahirkan Zainab yang kelak harus
meninggalkan Mesir. Dari keturunan Zainab inilah kelak Imam Syafi’i mendapat
tempat dan perlindungan. Juga membuka pesantrennya.
Hari ini
adalah hari Jum’at. Bulannya Dzulhijjah. Tahun 1417 hijriyah. Bulan haji. Bulan
ketika orang memotong leher kambing dan sapi, tepat pada tanggal 10. Sama
seperti tahun itu, ketika orang-orang Kufah memintanya menjadi khalifah dan
mereka siap berbai’at kepadanya. Tanggal 10 Dzulhijjah tahun itu, kaum muslimin
juga menyembelih leher kambing kibasy. Tetapi sebulan berikutnya, dunia tidak
akan pernah melupakan. Jika pada tanggal 10 Dzulhijjah orang-orang Islam
bergembira ketika memotong leher kambing dan onta, hari itu hati yang bersih
menjerit menangis ketika penguasa yang zalim memotong leher orang yang paling
dicintai Rasulullah Saw.. Jika dulu Fathimah Az-Zahra membukakan pintu kepada
Rasulullah ketika akan menemui Al-Husain, hari itu para wanita segera menutup
wajahnya dengan niqab untuk menyembunyikan keperihan hatinya ketika melihat
kepala Al-Husain diarak. Jika dulu Rasulullah sering mendekap dan menciumnya,
hari itu wajah yang sering didoakan Rasulullah itu dihinakan. Bahkan ketika
sudah menjadi mayat, giginya masih diantuk-antuk dengan ujung pedang. Padahal,
jenazah orang kafir saja kita disuruh menghormati. Akan tetapi Al-Husain justru
harum dengan darahnya. Sama seperti airmata Zainab yang menyelamatkan ‘Ali
Ausath, satu-satunya putra Al- Husain yang masih tersisa dari pembantian.
Airmata itu sampai sekarang tetap mengalir di dada kaum muslimin yang tahu hak
mereka, bercampur dengan darah Al-Husain yang harum.
Pelajaran
kadang memang harus pahit. Namun peristiwa di tanah duka (Karbala ) itu rasanya terlalu pahit. Hanya
Al-Husain yang sanggup memikul kemuliaan itu. Kita yang mencintai leher kita,
apalagi kita masih mencintai sapu tangan dan keramik unik, tidak cukup layak
untuk mendapatkan kehormatan. Alangkah tingginya Al-Husain dan keturunannya.
Alangkah jauhnya kita darinya. Lantas, apakah masih ada alasan untuk bersombong
dihadapan kemuliannya?
Kita memang terlalu jauh dari derajat Al-Husain. Bahkan untuk layak disebut sebagai golongan yang mencintainya saja, entah layak entah tidak. Sekadar meniru An-Nasa’I saja, saya belum yakin kita mempunyai cukup keberanian dan ketegaran. Sekarang, tangan kita lecet sedikit saja sudah membuat wajah kita muram dan mulut meringis. Padahal An-Nasa’i merelakan nyawanya demi kecintaannya. Sama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal yang bersedia dipukuli penguasa. Sama seperti Imam Syafi’i yang konon adalah imam kaum muslimIndonesia ,
sebab mayoritas umat Islam Indonesia
bermadzab Syafi’iyah meskipun kadang masih mencela orang yang melaksanakan qaul
(pendapat hasil ijtihad) Imam Syafi’i.1 Dan kita tahu, mereka semua adalah
ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, sudahlah. Dengan rasa malu atau tidak sama
sekali, kita harus mengakui betapa jauhnya kita dari orang-orang terdahulu.
Sangat jauh.
Kita memang terlalu jauh dari derajat Al-Husain. Bahkan untuk layak disebut sebagai golongan yang mencintainya saja, entah layak entah tidak. Sekadar meniru An-Nasa’I saja, saya belum yakin kita mempunyai cukup keberanian dan ketegaran. Sekarang, tangan kita lecet sedikit saja sudah membuat wajah kita muram dan mulut meringis. Padahal An-Nasa’i merelakan nyawanya demi kecintaannya. Sama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal yang bersedia dipukuli penguasa. Sama seperti Imam Syafi’i yang konon adalah imam kaum muslim
Meskipun
demikian, masih ada yang dapat kita ambil. Kita dapat melihat kembali sebagian
kecil teladan Fathimatuz Zahra sehingga mempunyai Kado Pernikahan keturunan
yang mulia sampai generasi-generasi yang jauh sesudahnya, termasuk Syaih ‘Abdul
Qadir Al-Jailani2 maupun Sayyid ‘Abdullah Haddad. Keteladanan Fathimatuz Zahra
mencakup kedekatan kepada Allah, kuatnya dalam menegakkan shalat malam,
khusyuknya dalam berzikir, kesetiaannya yang sangat luar biasa kepada suami,
serta kuatnya kecintaan dan perhatian kepada anak-anaknya. Hari ini,
insya-Allah kita akan mencoba melihat bagaimana Fathimah Az-Zahra mendidik dan
membesarkan putraputrinya. Sedangkan keteladanan lain, silakan periksa sendiri.
Tentu saja, membicarakan Fathimah Az-Zahra radhiyallahu ‘anha tidak bisa
lepas dari pembicaraan mengenai suaminya ‘Ali bin Abi Thalib karamallahu
wajhahu dan ayahnya Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
---
Kepada
anak-anak perempuannya,
Fathimah
mengajarkan keberanian,
pengorbanan,
keteguhan,
dan
tidak takut kepada orang lain.
---
Imam
Nawawi al-Bantani (Al-Jawi) pernah menuliskan keagungan Fathimah Az-Zahra
ketika berbicara masalah hak dan kewajiban suami-istri. Berikut ini saya kutip
dari Uqudul Lujain karya
Imam
Nawawi Al-Bantani. Suatu hari Rasulullah Saw. Menjenguk Az-Zahra.
Ketika itu ia sedang membuat tepung dengan alat penggiling sambil menangis.
“Kenapa
menangis, Fathimah?” Tanya Rasulullah, “Mudah-mudahan Allah tidak membuatmu
menangis lagi”.
“Ayah,”
Fathimah menjawab, “aku menangis hanya karena batu penggiling ini, dan lagi aku
hanya menangisi kesibukanku yang silih berganti.”
Rasulullah
kemudian mengambil tempat duduk di sisinya, kata Abu Hurairah. Fathimah berkata,
“Ayah, demi kemuliaanmu, mintakan kepada ‘Ali supaya membelikan seorang budak
untuk membantu pekerjaan-pekerjaanku membuat tepung dan menyelesaikan pekerjaan
rumah.”
Setelah
mendengar perkataan putrinya, Rasulullah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan
menuju tempat penggilingan. Beliau memungut segenggam biji-bijian gandum
dimasukkan ke penggilingan. Dengan membaca bismillahir rahmanir rahim maka
berputarlah alat penggiling itu atas ijin Allah. Beliau terus memasukkan
biji-bijian itu sementara alat penggiling terus berputar sendiri, sambil memuji
Allah dengan bahasa yang tidak dipahami manusia. Ini terus berjalan sampai
biji-bijian itu habis.
Rasulullah
Saw. berkata kepada alat penggiling itu, “Berhentilah atas ijin Allah. Seketika
alat pengiling pun berhenti. Beliau berkata sambil mengutip ayat Al-Qur’an, “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak pernah mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya, dan mereka selalu mengerjakan
segala yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Merasa
takut jika menjadi batu yang kelak masuk neraka, tiba-tiba batu itu bisa
berbicara atas ijin Allah. Ia berbicara dengan bahasa Arab yang fasih. Batu itu
berkata, “Ya, Rasulallah. Demi Dzat yang
Mengutusmu dengan hak menjadi Nabi dan Rasul, seandainya engkau perintahkan aku
untuk menggiling biji-bijian yang ada di seluruh jagat Timur dan Barat,
pastilah akan kugiling semuanya.”
Dan aku
mendengar pula, kata Abu Hurairah yang meriwayatkan kisah ini, nahwa Nabi Saw.
bersabda, “Hai Batu, bergembiralah kamu. sesungguhnya
kamu termasuk batu yang kelak dipergunakan untuk membangun gedung Fathimah di
surga.”
Seketika
itu, batu penggiling itu bergembira dan berhenti. Nabi Saw. bersabda kepada
putrinya, Fathimah Az-Zahra, “Kalau Allah berkehendak, hai Fathimah,
pasti batu penggiling itu akan berputar sendiri untukmu. Tetapi Allah
berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan menghapus
keburukan-keburukanmu, serta mengangkat derajatmu.
Hai
Fathimah, setiap istri yang membuatkan
tepung untuk suami dan anak-anaknya, maka Allah mencatat baginya memperoleh
kebajikan dari setiap butir biji yang tergiling, dan menghapus keburukannya,
serta mengangkat derajatnya.
Hai Fathimah, setiap istri yang berkeringat di
sisi alat penggilingnya karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka
Allah menjauhkan antara dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta.
Hai
Fathimah, setiap istri yang meminyaki
rambut anak-anaknya dan menyisirkan rambut dan mencucikan baju mereka, maka
Allah mencatatkan untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang yang memberi
makan seribu orang yang sedang kelaparan dan seperti orang yang memberi pakaian
seribu orang yang telanjang.
Hai Fathimah, setiap istri yang mencegah
kebutuhan tetangganya, maka Allah kelak akan mencegahnya (tidak memberi
kesempatan baginya) untuk minum dari telaga Kautsar pada hari kiamat.
Hai
Fathimah, tetapi yang lebih utama dari semua
itu adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak
meridhaimu, tentu aku tidak akan mendoakan dirimu. Bukankah engkau
mengerti, Hai Fathimah, bahwa ridha suami itu bagian dari ridha Allah, dan
kebencian suami merupakan bagian dari kebencian Allah.
Hai
Fathimah, manakala seorang istri
mengandung, maka para malaikat memohon ampun untuknya, setiap hari dirinya
dicatat memperoleh seribu kebajikan, dan seribu keburukannya dihapus. Apabila
telah mencapai rasa sakit (menjelang melahirkan) maka Allah mencatatkan
untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang berjihad di jalan
Allah. Apabila telah melahirkan, dirinya terbebas dari dosa seperti keadaannya
setelah dilahirkan ibunya.
Hai
Fathimah, setiap istri yang melayani
suaminya dengan niat yang benar, maka dirinya terbebas dari dosa-dosanya
seperti pada hari dirinya dilahirkan ibunya. Ia tidak keluar dari dunia (yakni
mati) kecuali tanpa membawa dosa. Ia menjumpai kuburnya sebagai pertamanan
surga. Allah memberinya pahala seperti seribu orang yang berhaji dan berumrah,
dan seribu malaikat memohonkan ampunan untuknya hingga hari kiamat.
Setiap
istri yang melayani suaminya sepanjang hari dan malam hari disertai
hati yang baik, ikhlas, dan niat yang benar, maka Allah akan mengampuni
dosanya. Pada hari kiamat kelak dirinya diberi pakaian berwarna hijau,
dan dicatatkan untuknya pada setiap rambut yang ada ditubuhnya dengan seribu
kebajikan, dan Allah memberi pahala kepadanya sebanyak seratus pahala
orang yang berhaji dan berumrah.
Hai
Fathimah, setiap istri yang tersenyum
manis di muka suaminya, maka Allah memperhatikannya dengan penuh rahmat.
Hai Fathimah, setiap istri yang menyediakan dirinya
tidur bersama suaminya dengan sepenuh hati, maka ada seruan yang
ditujukan kepadanya dari langit. ‘Hai wanita, menghadaplah dengan
membawa amalmu. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah
lalu dan yang akan datang.
Hai
Fathimah, setiap istri yang meminyaki
rambut suaminya, demikian pula
jenggotnya, memangkas kumis dan memotong kuku-kukunya, maka kelak Allah akan memberi minum kepadanya
dari rahiqim makhtum (tuak
jernih yang tersegel) dan dari
sungai yang ada di surga. Bahkan kelak Allah akan meringankan beban sakaratul maut. Kelak ia akan menjumpai
kuburnya bagaikan taman surga.
Allah mencatatnya terbebas dari neraka dan mudah melewati sirath (titian).
Mihrab
Agung Orang-orang Tercinta
Lima
orang anak yang dikaruniakan Allah Swt. Kepada Az-Zahra, yaitu Hasan,
Husain, Zainab, Ummu Kultsum, dan Muhsin --yang meninggal keguguran
ketika masih berupa janin dalam rahim sucinya. Ummu Kultsum kelak
dinikahi oleh Umar bin Khaththab karena keinginan Umar yang kuat untuk
bersambung ikatan darah dengan Rasulullah.
Fathimah
Az-Zahra mendidik sendiri dua putra dan dua putri yang diamanahkan
Allah Swt. kepadanya. Ia susui anak-anaknya dengan air susunya sendiri.
Ia rawat anak-anaknya dengan tangannya sendiri. Ia memilih untuk
mendekap anaknya sendiri, meskipun kepayahan bekerja dan ada
orang yang mau menggantikan, karena ibulah yang bisa menyayangi
anaknya, bukan orang lain --termasuk baby-sitter.
Padahal sekarang ibu-ibu muda kadang memilih untuk bisa makan
dengan tenang dan enak, sedangkan menggendong anak biar
dikerjakan oleh baby-sitter.
Mari kita
dengarkan cerita dari Bilal, muadzin Rasulullah: “Saya melewati
Fathimah yang sedang menggiling,” kata Bilal, “sementara anaknya
menangis.” “Saya berkata kepadanya,” kata Bilal melanjutkan.
“Jika engkau mau, biar aku yang memegang gilingan dan engkau
memegang anak itu. Atau, aku yang memegang anak itu dan engkau
memegang gilingan.”
Ia
berkata, “Aku lebih dapat mengasihi anakku daripada engkau.” Sebagaimana
istrinya, Sayyidina Ali juga menolak orang membawakan makanan yang akan
diberikan kepada anaknya (masya Allah, betapa hati-hatinya beliau menjaga
kebarakahan).
Shalih,
seorang pedagang pakaian pernah mendapat cerita dari neneknya, “Saya melihat
Ali karamallahu wajhahu membeli kurma dengan harga satu dirham,
lalu beliau membawanya dibungkus selimut. Saya berkata kepadanya atau seseorang
berkata kepadanya, ‘Saya yang akan membawanya, wahai Amirul Mukminin.’
Beliau
berkata,”Jangan! Kepala keluarga lebih
berhak membawanya.”
Kisah ini
disampaikan oleh Imam Bukhari. Jabatan Imam Ali saat itu adalah khalifah,
Amirul Mukminin. Pada masa sekarang, jabatan itu lebih tinggi dari pada
presiden atau raja sebuah negara, sebab kekuasaannya meliputi negeri-negeri
lain. Tetapi untuk membawakan makanan anak, Amirul Mukminin tidak mau
menyerahkan kepada orang lain.
Jabir
Al-Anshari menceritakan bahwa Nabi melihat Fathimah sedang menggiling dengan
kedua tangannya sambil menyusui anaknya. Maka mengalirlah air mata Rasulullah.
“Anakku,” katanya, ”engkau menyegerakan kepahitan dunia untuk kemanisan akhirat.”
Fathimah
mengatakan, “Ya Rasulallah, segala puji
bagi Allah atas nikmat-Nya, dan pernyataan syukur hanyalah untuk Allah atas
karunia-Nya.”
Lalu
Allah menurunkan ayat, “Dan kelak Tuhanmu
pasti akan memberimu karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.”
Kepada
anak-anak perempuannya, Fathimah mengajarkan keberanian, pengorbanan,
keteguhan, dan tidak takut kepada orang lain sejauh ia berdiri di atas
kebenaran. Sehingga kita mendapati, dalam situasi yang penuh ketakutan dan
leher sewaktu-waktu bisa terputus, Zainab masih bisa menghadap Ibnu Ziyad dengan
penuh ketegaran. Kesedihan yang teramat sangat ketika hampir semua saudara,
kemenakan, sanak-kerabat, dan sahabat menjadi mayat berserakan, tidak
membuatnya kehilangan keberanian dan ketegaran untuk mengatakan apa yang
seharusnya dikatakan. Mengatakan kebenaran.
Ketika
Ibnu Ziyad menghina Zainab dengan perkataan, “Puji Tuhan yang telah
mempermalukan dan menyingkap dusta kalian. Puji Tuhan yang telah mengobati rasa
dendam dan kesumat ku kepada saudaramu.”
Zainab menjawab
dengan tegar, tanpa rasa takut. “Puji Tuhan yang telah menganugerahi kami
keutamaan syahadah. Puji Tuhan yang telah menetapkan kenabian pada keluarga
kami. Kekalahan dan kenistaan adalah milik kalian wahai orang-orang zalim dan
fasik. Syahadah adalah kebanggaan, bukan kenistaan.
Orang-orang
zalimlah yang suka berbohong, bukan kami. Kami ahli hakikat. Semoga Tuhan
mencabut nyawamu, wahai anak marjanah!”
Ibnu
Ziyad dan orang-orang yang hadir kaget mendengar kata “marjanah”, wanita lacur. Ibnu Ziyad sangat
tertampar dengan kata itu, sehingga ia berkata, “sudah begini kalian masih
berani angkat suara.”
Ibnu
Ziyad mengambil kesempatan bicara dengan ‘Ali Ausath, kelak dikenal dengan
gelar ‘Ali Zainal ’Abidin. Dia pun memberi jawaban yang tak kalah pedasnya
dengan Zainab, padahal dia masih sangat kecil (bandingkan dengan anak
TPQ/TPA sekarang). Kemudian Ibnu Ziyad memanggil algojo, tukang jagal
manusia, untuk memotong kepala ‘Ali Zainal ’Abidin. Tiba-tiba Zainab bangkit
dan memeluk ‘Ali Zainal ’Abidin dengan erat sambil mengatakan, “Demi Allah,
lehernya tidak akan terpenggal sebelum kalian penggal leherku terlebih dulu.” Ibnu
Ziyad memandang Zainab dengan heran dan berkata, “Alangkah kuatnya rahim
mempererat mereka.” Inilah Zainab, hasil didikan madrasah suci bernama
Fathimatuz Zahra.
Semenjak kecil
mereka dididik oleh ibu yang sangat kuat kasih sayangnya. Dari Az-Zahra juga,
mereka belajar pengorbanan. Mereka belajar banyak tentang pengorbanan dari ibu
mereka, Fathimah Az-Zahra, dan ayah mereka, ‘Ali karamallahu wajhahu. Ada kisah pengorbanan mereka yang kemudian menjadi sebab
turunnya surat
Al-Insaan (76) ayat 8-9.
“Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mendapat ridha Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula
ucapan terima kasih.” (QS. Al-Insaan:8-9).
Ketika
itu Hasan dan Husain sedang dalam keadaan sakit. Rasulullah ditemani oleh
beberapa sahabat, datang menjenguk mereka. Rasulullah menyarankan kepada ‘Ali
untuk mengucapkan janji (bernazar) kepada mereka itu. Semua anggota keluarga,
termasuk Fathimah, ‘Ali dan Fazzah, pembantu mereka, mengucapkan janji kepada
Allah untuk menjalankan puasa selama tiga hari bila putra-putra ‘Ali sembuh
dari sakit.
Ketika
mereka sembuh, puasa pun dimulai. Tetapi mereka tidak memiliki apa-apa untuk
berbuka puasa. ‘Ali kemudian meminjam tiga sha’ gandum dari seorang Yahudi di
Khaibar bernama Syam’un.
Fathimah
memegang lima
keping roti dengan sepertiga bagian gandum itu dan meletakkan di atas meja
makan saat berbuka puasa. Pada saat hendak berbuka puasa, seorang pengemis
mengetuk pintu dan meminta makanan sambil berkata, “Tolonglah aku, semoga Allah
memberimu makan dengan makanan surga.” Keluarga itu pun memberikan makanan mereka
dan berbuka hanya dengan air.
Hari
berikutnya mereka masih berpuasa. Sekali lagi lima keping roti dipersiapkan. Kini, seorang
anak yatim mengetuk pintu untuk meminta makanan. Keluarga itu sekali lagi
memberikan makanan mereka kepada anak yatim itu. Pada hari ketiga datang
tawanan menjelang saat berbuka. Mereka melakukan hal yang sama.
Pada hari
ketiga, ‘Ali membawa anak-anaknya ke rumah Rasulullah. Melihat keadaan
cucu-cucunya, beliau menjadi sedih dan berkata, “betapa susah bagiku melihat
kalian dalam keadaan yang sulit ini.”
Lalu
beliau mengajak mereka kembali ke rumah Fathimah. Ketika tiba disana, Fathimah
sedang berdo’a, sementara kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan lemah dan
matanya begitu sayu. Melihat ini, Rasulullah Saw. menjadi bertambah sedih. Pada
waktu itu, malaikat Jibril datang kepada beliau dan mengatakan, “Terimalah
hadiah dari Allah ini. Allah mengirimkan ucapan selamat bagimu karena memiliki keluarga
yang begitu mulia.”
Lalu
Jibril membacakan kepada Rasulullah surat
Al-Insaan (Hal Ata).
Inilah
Fathimah, ibu yang mendidik anak-anaknya dengan kesabaran dan kelembutan luar
biasa itu. Ia menanamkan ke dada anak tauhid dan kesediaan untuk
berdarah-darah.
Fathimah,
kata Soraya Maknun, mendidik seorang anak perempuan seperti Zainab seorang
wanita yang terpelajar, bijaksana dan terhormat, yang kata-katanya dapat
menenangkan saudaranya yang tak berdosa pada saat-saat kritis di senja bulan
Asyura’ (Muharram). Inilah wanita yang emosinya sangat matang.
Kisah
Fathimah Az-Zahra akan lebih panjang lagi kalau diteruskan. Dan makalah ini
tidak cukup untuk menuliskan. Oleh karena itu, kita sudahi dulu. Sebagai
penutup, saya sampaikan kisah singkat. Hasan dan Husain, kata Abu Hurairah,
bergulat. Lalu Rasulullah Saw. berkata, “Ayo Hasan!” Maka Fathimah mengatakan,
“Wahai Rasulullah, engkau mengatakan ‘ayo Hasan’, padahal dia lebih besar. ”Maka
Rasulullah menjawab, “Aku mengatakan ‘Ayo Hasan’ dan malaikat Jibril mengatakan
‘Ayo Husain.”
Sambil
bermain-main dengan Hasan, Fathimah mengajarkan kepada anaknya dengan
mengatakan :
Jadilah seperti ayahmu, wahai
Hasan
Lepaskan tali kendali yang
membelenggu kebenaran
Sembahlah Tuhan yang memiliki
anugerah
Janganlah kau bantu orang yang
memiliki dendam
Saya
tidak tahu apakah kita bisa meneladani Fathimatuz Zahra, sedangkan tingkatan
kita masih seperti ini. Jauh sekali.
Tetapi
saya berharap pembicaraan ini ada manfaatnya. Setidaknya mengajari kita rasa
malu, untuk tahu diri. Kalau kita sudah merasa berkorban dan berjasa,
sebandingkah dengan pengorbanan Az-Zahra dan keluarganya?
Satu hal,
tulisan ini adalah do’a. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita
keturunan yang penuh barakah dan Allah mengaruniakan kepada mereka barakah,
sampai yaumil-qiyamah. Semoga Allah mengaruniakan pada kita keluarga
yang penuh barakah dan Allah melimpahkan barakah kepada kita.
Mudah-mudahan
kita yang hadir saat ini dikumpulkan bersama Rasulullah Muhammad Saw. di
Al-Haudh. Allahumma amin. Allahu A’lam bishawab.*
Catatan
Kaki:
1.
Menurut pendapat Imam Syafi’i, wanita wajib mengenakan cadar. Sekarang
jangankan bercadar, ada yang berjubah panjang dan berjilbab menjulur saja
sering sudah dianggap berlebihan dan sok alim. Saya sering sedih jika mendengar
komentar bernada cemooh dari mereka yang mengerti betul qaul-qaul fiqih
dan menganggap mereka eksklusif. Sungguh, mereka adalah saudara-saudara kita
yang belajar menjadi muslimah yang baik.
2. Syaikh
‘Abdul Qadir Jailani termasuk ulama sufi yang terpercaya. Syaikhul Islam Ibnu
Taymiyyah menulis, “Adapun para imam kaum Sufi serta para syaikh terdahulu yang
terkenal seperti Al-Junaid bin Muhammad beserta pengikut-pengikutnya, juga
seperti Abdul Qadir Al- Jailani dan orang-orang semisalnya, maka mereka adalah
termasuk orang yang paling memperhatikan perintah dan larangan, termasuk orang
yang paling sering mewasiatkan (kepada murud-muridnya) untuk mengikuti yang
demikian itu, dan paling sering mengingatkan agar mereka jangan berjalan
bersama (memikir-mikirkan) takdir, sebagaimana pengikutpengikut berikutnya
berjalan mengikuti mereka.” Lebih lanjut silakan periksa Qadha’ dan Qadar
(Mantiq, Solo, 1996), bagian dari Majmu’atur Rasail Liibni Taimiyyah.
3. Imam
Nawawi Al-Bantani adalah syaikh Muhammad Ibnu Umar An- Nawawi, ulama asal
Banten Jawa Barat yang hidup di Arab pada masanya dan banyak menulis kitab. Bukan
Imam Nawawi penulis kitab Al-Adzkaar dan Syarah Shahih
Muslim.
4. Saya
tidak menemukan catatan mengenai kedudukan hadis ini. Wallahu ‘Alam Bishawab.
5.
Tulisan ini semula merupakan makalah yang saya sampaikan pada acara Diskusi
Psikologi Anak di Pondok Pesantren (putri) Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta , 11 April 1997. Kemudian diperbaiki untuk
diskusi KMIS Fakultas Sastra UGM, 26 April 1997 dan acara Studium
General Training Kemuslimahan yang diselenggarakan oleh KSAI, 10 April
1998.
No comments:
Post a Comment