Tuesday, December 6, 2011

Abu Bakar

“Kupersembahkan jiwaku, seluruh hartaku, keluargaku untuk perjuangan jihad di jalan Allah. Dan tak satu pun di dunia ini yang mampu menggoyahkan sumpahku itu.”

Adakah generasi Islam yang lebih mantap kesetiaannya selain para sahabat Rasulullah saw. Sepak terjang mereka telah meluluhlantakkan gunung-gunung batu jazirah Arab. Kesetiaan mereka dengan dakwah dan jihad menghancurleburkan angan-angan orang-orang kafir di masanya. Di antara mereka ada Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Abu Bakar tercenung. Ia merasa malu bercampur ragu. Mampukah nama besar itu ia jaga. Mampukah diri dan keluarganya telah benar-benar setia dalam jihad seperti kesetiaan sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Bakar khawatir sekali kalau suatu waktu ada orang yang bilang. “Payah Abu Bakar. Gara-gara anak sakit aja, nggak datang ngaji! Gara-gara sibuk dagang aja, dakwah ditinggalin!”
“Ah, semoga Allah swt merawat diri ini agar tetap seperti Abu Bakar,” ucap bapak empat anak ini dengan penuh harap. Pengharapan ini bukan basa-basi tanpa dasar. Tapi, benar-benar tercetus dari lubuk hatinya yang paling dalam. Semua kekhawatiran itu merupakan rembesan dari pengalaman hidupnya bersama isteri dan anak-anak.

Tiada hari tanpa berjuang. Moto itu bukan sekadar hiasan batin Abu Bakar. Tapi, memang sebuah kenyataan kalau pedagang kaki lima ini melewati hari-harinya dengan berjuang. Terik panas matahari bukan lagi musuh dalam sibuknya. Kulit wajahnya yang mulai menghitam tak lagi bisa ditutupi oleh bayang-bayang topi yang biasa ia pakai. Matanya yang sering memincing tak kunjung lelah menatap gerak-gerik calon pembeli. Asap knalpot kendaraan sudah bukan lagi polusi buat saluran pernapasannya. “Semoga, rezeki hari ini lebih baik dari hari kemarin,” doa batin Abu Bakar dalam penantian.

Bisnisnya jadi luar biasa kalau bulan Ramadhan datang. Maklum, dagangannya sangat berhubungan erat dengan ibadah. Dan lokasi jualnya tak jauh dari pelataran masjid-masjid besar. Kopiah. Aneka ragam kopiah lebih sering ia pandangi daripada memandang anak-anaknya.

Sarapan pagi merupakan kesempatan yang paling menyenangkan. Saat itulah ia bisa memandangi buah-buah hati tercintanya. Mencermati segala tingkah lucunya. Menyelami segala protes rengek mereka. “Yah, beiliin buku tulis, dong. Yah, sepatu Sarah udah bojot, nih. Yah, jilbab Syifa udah bolong, nih!” Segala tuntutan itu kian membakar semangat hidupnya. Abu Bakar menikmati saat-saat seperti itu. Sungguh, hiasan dunia yang teramat mahal. Sayang, kenikmatan itu tak berlangsung lama. Karena terputus oleh keberangkatan anak-anak ke sekolah. “Assalamu’alaikum!” ucap mereka hampir bersamaan.

Perpisahan itu menyelipkan kekhawatiran Abu Bakar. Mampukah ia dan isterinya yang tidak berpendidikan tinggi mendidik anak-anaknya dengan ketinggian akhlak Islam. Sekolah hanya tamat SMP. Hafalan Quran mentok di juz terakhir dan macet ke juz-juz sebelumnya. Hadits Arbain yang hanya empat puluh tak juga terhafal dalam waktu lebih dari empat puluh bulan. Astaghfirullah! Tapi, ia tetap bertekad: anak-anak harus jadi mujahid Islam. Jangan seperti ayahnya yang cuma bisa mondar-mandir jadi penghubung. Tak mampu memberikan sesuatu yang besar buat umat ini. Buat dakwah ini! Apa yang bisa diberikan oleh seorang tukang kopiah.

Abu Bakar kadang malu tidak bisa memberikan sumbangsih yang berarti. Bahkan, hanya untuk tempat pengajian pun. Ingin rasanya ia menjamu rekan-rekan ngajinya. Tapi, sayang. Rumah kontrakannya yang hanya punya dua ruangan teramat sesak menampung teman-teman seperjuangannya. Walaupun hanya untuk sepuluh orang. Keinginan itu hanya bisa tercapai kalau isteri dan anak-anaknya diungsikan sementara. Waduh, repotnya!

Sering, Abu Bakar hanya bisa membatin mendengar musibah-musibah yang silih berganti menjambangi rekan-rekan perjuangannya. Ada ikhwah yang hampir satu tahun tidak mampu membayar uang sekolah anak-anaknya. Ada ikhwah yang sambungan listrik rumahnya diputus gara-gara tak punya uang buat bayar. Ada ikhwah yang hanya mampu beli bakso demi mendapat kuah daging buat gizi anak-anaknya. “Ya Allah, betapa lemahnya diri ini,” ucap Abu Bakar prihatin.

Ingin rasanya Abu Bakar punya kiprah besar buat perjuangan umat. Dan, memberikan sesuatu yang dibutuhkan umat, demi tegaknya Islam.

Tak jarang, Abu Bakar meminta kerelaan isteri dan anak-anaknya untuk berbagi. “Bu, ayah sudah janji mau beliin jilbab baru. Tapi, uangnya terpakai buat nutupi biaya studi Islam. Nggak pa-pa ya, Bu?” ucapnya suatu kali. Ia juga pernah merayu anak-anaknya tidak makan nasi pake telor lantaran uangnya terpakai buat bikin spanduk dakwah.

Abu Bakar bukan tidak paham kalau ada hak isteri dan anak-anak yang mesti dilunasi. Tapi, ada hak yang harus lebih didahului. “Isteriku tak akan masuk neraka tanpa jilbab baru. Dan anak-anakku tak akan mati tanpa makan telor, “ tegas Abu Bakar mengikis keraguannya.

Satu hal yang dipegang kuat Abu Bakar: ia tidak boleh mengeluh. Hidup ini ladang ujian. Dan perjuangan dakwah adalah kerelaan memikul beban. Sesulit apa pun ujian, dan seberat apa pun beban kalau dipikul dengan iman akan terasa ringan. Kalau batinnya mengeluh, berarti imannya melemah. Dan, seorang mujahid pantang lemah iman.

Betapa indahnya hidup seperti Abu Bakar Ash-Shidiq. Semua miliknya sudah terjual buat Allah dan RasulNya. Dan itulah yang dicita-citakan Abu Bakar si penjual kopiah.

“Kupersembahkan diri yang lemah ini, harta yang tidak seberapa ini, dan prestasi anak-anak yang masih kecil, hanya untuk jihad dan dakwah. Tak satu pun di dunia ini yang mampu menggoyahkan tekadku itu,” ucap Abu Bakar sambil memandangi kopiah dagangannya.

No comments:

Post a Comment