Monday, November 23, 2009

Taat Hanya Kepada Allah


Orang-orang terkutuk Kuffar dan musuh-musuh Allah telah berhasil dalam memotivasi banyak pemyimpangan dan ‘muslim moderat’ berfikir bahwa ketaatan pada hukum buatan manusia adalah termasuk perintah agama dan kewajiban dalam Islam.

Mereka sering salah manafsirkan Al-Qur’an dan perkataan Nabi Muhammad Saw. lalu menggunakannya sebagai dalil untuk pernyataan keliru mereka. Lebih lanjut, mereka juga mengutip fatwa palsu yang sering diisukan oleh Ulama pemerintah yang mendapatkan bayaran untuk menyesatkan pengikutnya.

Risalah pendek ini mengemukakan bukti untuk menolak konsep-konsep yang salah yang telah tersebar luas dan diedarkan oleh ‘muslim moderat’, dengan merujuk pada teks-teks Syara’ (Al-Qur’an dan As-Sunnah) berdasarkan kepada pemahaman Shahabat.

Argumentasi-argumentasi Semu

Allah memerintahkan kita untuk menaati penguasa

Mereka yang telah menyimpang dari jalan yang benar mengikuti sebuah ayat untuk menjustifikasi tindakan kufur akbar dengan menaati Tuhan-tuhan palsu dan tidak berhukum dengan kitab Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS An Nisaa’, 4: 59)

Hal ini sungguh mengejutkan bagaimana sebuah ayat yang tidak ada keraguan dapat disalahpahami. Seseorang yang mengklaim bahwa ayat ini memerintahkan kita untuk menaati Kuffar itu benar-benar lemah akal. Ini karena ayat yang dimulai dengan: “hai orang-orang yang beriman!” selanjutnya ayat ini menyeru kepada orang-orang yang beriman untuk menaati orang-orang yang berkuasa diantara mereka. Dengan konsekuensi, karena dia diantara atau di tengah-tengah mereka maka dia juga harus dari ‘orang-orang yang beriman.

Lebih lanjut, klaim seperti itu menyatakan bahwa Allah Swt. berlawanan dengan diriNya dan ayat di atas pada kenyataannya berarti, ‘wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan orang-orang yang tidak beriman serta menolak Islam.’ Ini jelas berlawanan dan tidak membawa pengertian sama sekali; selanjutnya, ayat tidak bisa memerintahkan kita untuk menaati orang-orang yang tidak beriman setelah memerintahkan kita untuk menaati Allah dan RasulNya.

Sebagai tambahan, mayoritas Salafi Muffasirin (ulama tafsir masa salaf) telah menjelaskan bahwa ‘ulil amri merujuk pada Ulamaa’.

Dengan demikian, kesimpulan ayat di atas memerintahkan kita untuk menaati penguasa Muslim yang berhukum dengan Al-Qur’aan dan As-Sunnah, bukan pada orang-orang Kafir yang tidak beriman pada Allah, menolak Syari’ah dan mengimplementasikan hukum buatan manusia, kebebasan dan demokrasi.

Kita telah masuk dalam sebuah perjanjian dan selanjutnya kita harus menaati hukum sebuah negeri.

Hujjah yang digunakan untuk argumen semu yang kedua ini adalah sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqadmu…” (QS Al Maa’idah, 5: 1)

“…dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Israa’, 17: 34)

Tidak ada keraguan dalam diri setiap Muslim bahwa memenuhi sumpah, perjanjian dan kontrak adalah sebuah kewajiban yang telah maklum diketahui dalam Islam (amrun ma’lumun minad dien bid darurah). Selanjutnya, pada saat kita berbicara tentang memasuki sebuah perjanjian dengan sebuah negeri tertentu, perjanjian ini berlaku sepanjang dalam masalah yang dibolehkan dalam Islam.

Masalah perjanjian memasuki sebuah Negara diperbolehkan untuk melindungi diri dan atau dengan tujuan untuk menyebarkan risalah Islam. Hal yang sering dijadikan alasan, dia tidak akan melanggar kehidupan dan kesucian dengan orang-orang yang dia berada dibawah perjanjian. Bagian lain dari perjanjian tidaklah mengikat kepadanya, terutama bagian-bagian yang mengakibatkan dia melanggar hukum syara’.

Lebih lanjut, untuk argumen semata, jika bagian perjanjian membutuhkan dia untuk menaati hukum Thaghut, maka ini (perjanjian tersebut) tidak mengikat atasnya. Ketaatan adalah sebuah ibadah dalam Islam; selanjutnya jika ketaatan itu diberikan kepada selain daripada Allah itu akan menjadi Syirikut taa’ah. Allah SWT. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (QS Ali Imran, 3: 100)

“Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik…” (QS Al Ahzab, 33: 48)

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al Furqaan, 25:52)

“…dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS Al An’aam, 6: 121)

Dari ayat-ayat di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa ketaatan pada selain Allah adalah Syirik, dan perbuatan tersebut dikatagorikan murtad. Ini tidak berarti bahwa ketaatan seseorang pada suami atau orang tua merupakan syirik, karena Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk memenuhi hak-hak mereka.ketaatan pada Kuffar, fasiqin dan munafik adalah terlarang.

Orang-orang yang secara rutin berbicara tentang memenuhi perjanjian seseorang, apakah mereka tidak berfikir tentang memenuhi perjanjian yang mereka buat dengan Allah Swt. , menolak semua Tuhan-tuhan palsu dan hanya menaatiNya?

Tidak diperbolehkan untuk melawan hukum mereka karena hal itu akan memberi Islam sebuah nama buruk

Kita tidak memutuskan apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan dalam Syari’ah dengan apa yang memberi Islam sebuah nama buruk dan tidak. Allah Swt. telah menginformasikan kepada kita bahwa Kuffar sepenuhnya meremehkan Islam. Ini karena Syari’ah Islam berlawanan dengan rasio mereka dan kepentingan pribadi, sebagaimana meminum khamr, pergaulan bebas, zina, kebebasan, menyembah Tuhan-tuhan palsu dan sebagainya. Allah Swt. berfirman:

“…Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya….” (QS Asy Syuraa’, 42: 13)

Dengan alasan ini, Allah Swt. memerintahkan Nabi Saw. dan para Shahabatnya R.a. Untuk tidak kompromi mengajak orang-orang yang tidak beriman kepada jalan hidup dan ideologi Islam – tanpa memikirkan opini dan pandangan rendah mereka:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS Al Hijr, 15: 94)

“Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (QS At Taubah, 9: 33)

Seseorang yang dengan kaku memegang prinsip-prinsip keimanannya dan menyeru orang-orang untuk menaati Tuhan yang Satu bukanlah memberikan Islam sebuah nama buruk. Seseorang yang mengkompromikan keimanannya hanya untuk menyenangkan musuh-musuh Allah adalah yang memudarkan Islam. Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk menolak hukum buatan manusia dan tidak menaati Kuffar. Jika ini memberikan Islam sebuah nama buruk, biarkanlah anjing terus menggonggong.

Ketika sebagian Shahabat hijrah ke Abyssinia mereka menolak untuk membungkuk pada raja, sungguh itu benar-benar ‘tidak hormat’ pada saat itu dan memberikan sebuah kesan ‘buruk’ kepada non-muslim. Ini karena mereka pergi untuk perlindungan bukan utuk menjadi warga negara yang taat di Abyssinia.

Betapa luar biasa orang-orang pada saat ini yang lebih memikirkan pelanggaran hukum buatan manusia daripada pelanggaran hukum buatan Allah Swt.! Pada saat mereka mendengar kata ‘ilegal’ mereka menjadi ketakutan dan khawatir, tetapi ketika mereka mendengar istilah ‘haraam’, ‘kufur’ atau ‘syirik’ itu sama sekali tidak berpengaruh bagi mereka.

Tidak dibolehkan untuk melanggar hukum karena itu akan mengakibatkan dipenjara

Walaupun dilarang untuk mematuhi semua hukum selain hukum buatan Allah, ini tidak berarti bahwa kita harus dengan bebas melanggar setiap hukum. Sebagian hukum dibolehkan untuk dijalankan, yang terpenting adalah niat seseorang untuk tidak menaati thaghut. Sebagai contoh, menggunakan sabuk pengaman dibolehkan dalam Islam.

Namun, jika itu dilakukan karena hukum mengatakan harus melakukan demikian, ini merupakan syirik. Seseorang hanya menggunakannya untuk melindungi diri atau karena itu hal yang dibolehkan, bukan karena hukum telah mewajibkan kita untuk melakukan demikian. Seperti berhenti pada saat lampu merah dibolehkan dalam Islam – hal itu dilakukan untuk keselamatan seseorang atau dengan tujuan untuk tidak menyebabkan kerugian kepada orang lain.

Lebih lanjut, kita telah menerangkan bahwa dilarang untuk menaati Kuffar dan munafik. Seorang Muslim perlu memeluk erat prinsip-prinsip dien dan menyebarkan aturan syariat Islam (seperti membunuh orang-orang yang menghina Rasul) walaupun illegal untuk melakukannya. Jika seseorang dipenjara atas keimanannya itu, maka ia dianggap sebagai syahid untuk Allah semata – puncak tujuan bagi orang-orang yang beriman.

Para Shahabat dulu disiksa, dianiaya dan bahkan dibunuh karena melawan hukum dan kebiasaan kaum Quraisy. Sama dengan Nabi Yusuf A.s. yang dipenjara karena menolak menyeru untuk mendurhakai Allah. Dalam sebuah pernyataannya yang terkenal, Yusuf A.s. berkata:

“Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku….” (QS Yusuf, 12: 33)

Dengan demikian, sangat tidak masuk akal bagaimana orang-orang menjadi lebih takut dimasukkan ke penjara daripada di lempar ke neraka!

Wallahu’alam bis shawab!

No comments:

Post a Comment