“Hidupku sudah bergelimang dosa dan maksiat, lebih baik aku jalani saja apa adanya, “ demikian sering kita dengar dari sebagian para pelaku maksiat.
Banyak para pelaku maksiat merasakan hidup seperti memakan buah simalakama. Dimakan kena gak dimakan tetap juga kena. Akhirnya, mereka tetap berkatifitas dan melakukan kemaksiatan dan keburukan. Contoh seperti ini sesungguhnya sebuah gambaran orang-orang yang putus harapan. Seolah hidupnya sudah tidak berarti lagi.
Tak sedikit orang-orang yang sudah berusia lanjut bergaya bak anak muda. Umur sudah mendekati ajal, namun gaya tak ketulungan. Meski sudah keriput, maksiat tetap tak surut. Rambut dikuncir, telinga pakai anting, dan semua tangannya pakai tato. Tua-tua keladi, ujar pepatah. Makin tua makin menjadi-jadi. Bukan insyaf tapi malah terus bermaksiat.
Sebaliknya, jika yang tua makin menjadi-jadi, yang muda justru tak memiliki hati. Mereka tahu apa yang dilakukan itu kurang baik dan merugikan, tetap saja menutup mata dan hatinya hanya untuk terus memperkokoh dahaga nafsunya. “Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati masuk Surga, “. Slogan ini awalnya hanya gurauan yang ditempel di stiker-stiker bahkan digunakan jadi T-Sirt. Namun, sesungguhnya saat ini banyak dijadikan modal dan spirit kaum muda.
Dengan memasuki masa remaja, mereka seolah punya tiket untuk bisa bersenang-senang dan berbuat apasaja. Dan seringkali pula para orangtua memberikan legitimasi. “Mumpung masih muda, berbuatlah sesukamu,” begitu katanya.
Bagaimana mungkin, hanya dengan foya-foya, tanpa amalan sholeh orang bisa masuk surga? sungguh sangatlah mustahil.
Banyak orang mengaku sulit untuk melakukan kebaikan. Karenanya ia merasa akan terus berbuat keburukan dan bermaksiat. “Ya, saya sudah tahu ini keliru, tapi masih belum siap melakukannya, “ bagitu jawabnya.